Rabu, 16 April 2014



PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Dalam kehidupan sehari-hari proses komunikasi yang dilakukan menggunakan penggunaan lambing-lambang verbal serta nonverbal bersamaan. Hal tersebut karena bahasa verbal dan nonverbal bersifat holistik atau tidak dapat di pisahkan. Dalam proses komunikasi, bahasa nonverbal menjadi pelengkap bahasa verbal namun tidak jarang nonverbal menjadi pengganti dari ungkapan-ungkapan verbal. Meski kedua sistem komunikasi ini tidak dapat dipisahkan namun keduanya memiliki perbedaan yang signifikan.
Komunikasi verbal sangat terstruktur dan mempunyai hukum atau aturan-aturan tata bahasa. Dalam komunikasi nonverbal hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali struktur formal yang mengarahkan komunikasi. Kebanyakan komunikasi nonverbal terjadi secara tidak disadari, tanpa urut-urutan kejadian, yang dapat diramalkan sebelumnya. Tanpa pola yang jelas, perilaku nonverbal yang sama dapat memberi arti yang berbeda pada saat yang berlainan.
Komunikasi nonverbal baru berhenti bila orang yang terlibat di dalamnya meninggalkan suatu tempat. Tetapi selama tubuh, wajah dan kehadiran kita masih dapat dipersepsikan oleh orang lain atau diri kita sendiri, berarti komunikasi nonverbal dapat terjadi. Tidak sama halnya dengan kata-kata dan simbol dalam komunikasi verbal yang mempunyai titik awal dan akhir yang pasti.


KOMUNIKASI VERBAL
1.      Definisi
Hasan (2011) memaparkan bahwa komunikasi verbal adalah proses komunikasi yang di lakukan dengan memakai simbol-simbol verbal baik secara lisan maupun tertulis. Pesan yang ada pada komunikasi verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu atau lebih kata. Berbeda dengan nonverbal yang spontan, keseluruhan komunikasi verbal yang dilakukan adalah proses sadar yaitu pesan verbal yang dengan pemikiran sadar untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain.
Akhmadi (2009) menekankan komunikasi pada satu titik berat saja yaitu bahasa. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri yanng terwujud dalam percakapan atau perkataan. Bahasa sebagai suatu ungkapan dalam bentuk kalimat atau kata dari seseorang kepada orang lain agar terjalin komunikasi, kerja sama saling berinteraksi antara satu dengan lain untuk mencapai tujuan.
Rahmat (1994) menjelaskan komunikasi verbal dengan memberikan pemaparan tentang bahasa. Bahasa adalah alat atau media yang secara bersama-sama di buat dan digunakan untuk mengungkapkan gagasan. Mulyana (2005) mendefinisikan bahasa sebagai simbol sistematis yang terdiri dari kombinasi symbol yang telah disepakati bersama sebelumnya dan memudahkan komunitas atau populasi untuk bertukar informasi.

2.      Ciri-Ciri dan Fungsi
Ciri-ciri komunikasi verbal menurut Hasan (2011) adalah:
·         Cara penyampaiannya adalah lisan atau tulisan
·         Komunikasinya dua arah
·         Di dukung dengan bantuan nonverbal
Sedangkan menurut Barker (Mulyana, 2005) bahasa yang di gunakan sebagai fasilitator dalam komunikasi verbal, memiliki fungsi yang sangat banyak. Diantaranya adalah:
1.      Bahasa di jadikan penjulukan atau label pada objek sehingga individu yang akan melakukan proses komunikasi sudah mendapatkan rujukan nama yang diketahui individu lain.
2.      Fungsi interaksi yang mengundang simpati dan pengertian.
3.      Fungsi transmisi yaitu keadaan ketika informasi dapat tersalurkan

3.      Keterbahasan Bahasa
Hasan (2011) memaparkan beberapa keterbatasan dari bahasa bahasa sebagai penunjang komunikasi verbal, yaitu:
a.       Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk dapat mewakili objek.
b.      Kata-kata bersifat ambigu dimana kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang yang berbeda-beda serta budaya yang bermacam-macam pula sehingga dapat muncul berbagai pemaknaan.
c.       Adanya ketimpangan fakta dan opini, tidak jarang individu dalam berbahasa mencampur adukkan fakta, penafsiran serta penilaian. Sedangkan komunikasi akan dikatakan efektif ketika individu pelaku komunikasi dapat memisahkan pernyataan fakta dan dugaan.


Akhmadi. 2009. Komunikasi Verbal Dan Nonverbal Dalam Konseling, Kajian Materi Diklat Teknis Fungsional Peningkatan Kompetensi Guru Muda Bk Ma. BDK Surabaya : Tidak diterbitkan.

Hasan, H. 2011. Ilmu Pernyataan. UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Rahmat, J. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Minggu, 20 Oktober 2013

MENCIPTKAN KONSELING YANG KONDUSIF

A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PROSES KONSELING

Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan proses konseling. Gladding menjelaskan bahwa ada lima faktor yang memengaruh konseling, yaitu:
1. Struktur
Gladding mengartikan struktur sebagai konsep mengenai karakteristik, kondisi, prosesdur, dan parameter konseling yang disepakati oleh konselor dan kliennya. Dalam hal ini, struktur bisa digunakan untuk memperjelas hubungan antara konselor dan klien, melindungi hak masing-masing, menunjukkan arah, dan menjamin keberhasilan konseling. Apabila dalam sebuah proses konseling tidak terdapat struktur yang jelas, maka klien akan kesulitan untuk memahami konseling sepenuhnya. Lesmana (2005) memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan pedoman praktis untuk membangun struktur, yaitu:
a.  Time limits, misalkan dalam setiap pertemuan konselor dan klien memiliki durasi waktu yang telah disepakati.
b. action limits, dilakukan agar tidak terjadi tingkah laku yang destruktif.
c. role limits, yaitu pemaparan tentang tujuan akhir yang diharapkan masing-masing pihak.
d. procedural limits, yaitu kondisi dimana klien diberi tanggung jawab untuk menghadapi suatu sasaran atau kebutuhan spesifik.
e. Fee schedules, yaitu kesepakatan antara konselor dan klien megnenai kapan harus membayar dan bagamana cara pembayarannya.
2. Inisiatif
Dalam konseling, inisiatif merupakan sikap yang dapat memotivasi klien untuk mempercepat kesembuhannya. Dengan adanya inisiatif, konselor dapat dimudahkan dalam menangani permasalahan klien, dimana inisiatif biasanya lahir pada klien yang memiliki keyakinan kuat untuk lepas dari masalahnya. Sedangkan klien yang masih enggan mengungkapkan permasalahannya, maka konselor yang harus berinisiatif untuk mengambil tindakan nyata agar dapat menggali akar konflik dari klien.
3. Tatanan (Setting) Fisik
Untuk menciptkan konseling yang kondusif, perlu adanya ruangan konseling yang nyaman dan memebrikan ketenangan pada klien. Seorang konselor, yang professional harus memiliki keterampilan untuk menyiapkan ruangan yang dapat membuat klien merasa aman, tenang, relax, dan senang. Penyiapan konteks ruangan, meliputi:
a.  Pengaturan dekorasi rauangan. Dekorasi ruangan hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang familiar dengan klien, sehingga diharapkan dapat menyenangkan klien.
b. Pengaturan tempat duduk. Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu, konselor dank lien lebih baik duduk di kursi yang berhadapan satu sama lain tanpa adanya meja atau bangku yang menghalangi. Keterbatasan hubungan antara konselor dengan klien telah diatur dalam kode etik klien.
c. Jarak tempat duduk klien. Jarak tempat duduk konselor dank lien dapat memengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jarak tempat duduk yang jauh cenderung menimbulkan suasana yang kurang akrab dan dapat menimbulkan suasana yang kaku, terbatas, dan merisihkan serta akibat paling fatalnya, klien menjadi semakin lebih tertutup.
d. Letak tempat duduk klien. Posisi tempat duduk  sebaiknya memungkinkan klien untuk melemparkan pandangan keluar jendela agar klien merasa bebas, enak dan tidak tertekan.
e. Ruang konseling. Ruangan yang digunakan untuk proses konseling seharusnya dibuat khusus agar klien merasa aman dan bebas mengemukakan masalahnya tanpa khawatir didengar oleh orang lain. Besar ruangan untuk melakukan kegiatan konseling minimal berukuran 3x4 m, mempunyai sirkulasi udara yang baik, berjendela, cukup terang, dan bersih.
4. Kualitas Klien
Yang termasuk kualitas klien adalah karakteristik klien dan kesiapannya menjalani proses konseling.
5. Kualitas Konselor
Konselor adalah pihak yang paling memahami arah konseling dan mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan konseling.
Selain lima faktor di atas, Latipun (2001) membagi faktor-faktor yang memengaruhi konseling menjadi lima, yaitu:
1. Faktor yang berhbungan dengan gangguan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Jenis gangguan atau masalah.  Apabila jenis gangguan atau masalah klien telah berulang kali ditangani konselor, konselor akan terbantu untuk menemukan teknik konseling yang sesuai untuk klien. Akan tetapi, bila jenis gangguan klien baru pertama kali untuk ditangani, maka konselor cenderung kesulitan menghadapi klien, namun konselor tetap dituntut untuk professional.
b. Berat atau ringannya masalah/gangguan. Semakin berat masalah yang dihadapi klien, maka konselor membutuhkan waktu konseling yang lebih lama. Demikian juga dengan kompleksitas masalah klien yang turut memengaruhi hasil konseling yang dilakukan.
c. Konseling sebelumnya. Klien yang sudah pernah menjalani konseling sebelumnya pada konselor lain, akan memengaruhi keberhasilan konseling yang dijalani pada konselor lainnya. Jika klien yang sudah pernah menjalani konseling memiliki persepsi positif tentang konseling, maka permasalahan yang dihadapinya akan semakin mudah ditangani. Namun sebaliknya, bila klien memiliki persepsi negative tentang konselingnya yang dahulu klien akan cenderung defensive pada konselor.
2. Faktor-faktor yang berhubungan keadaan klien, yaitu:
a. Usia klien.
Untuk membentuk kepribadian yang positif pada klien, maka konselor harus melakukan modifikasi terlebih dahulu. Klien yang masih remaja lebih mudah dimodifikasi perilakunya karena kepribadiannya yang masih fleksibel. Berbeda halnya dengan klien yang telah dewasa, yang telah memantapkan kepribadiannya, sehingga sulit untuk diubah.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian, wanita cenderung lebih mudah dipengaruhi perilakunya, karena kerap kali melakukan modeling disbanding pria dan dalam konseling, faktor modeling sangat penting dalam upaya pembentukan tingkah laku baru.
c. tingkat pendidikan
Berdasarkan penelitian klien yang berpendidikan tinggi akan lebih positif menyikapi interaksi dan proses yang terjadi dalam konseling dibandingkan dengan klien yang berpendidikan rendah, karena kecenderungan wawasannya yang lebih terbuka.
d. inteligensi
Dalam hal ini, inteligensi berpengaruh terhadap kemampuan klien menyesuaikan diri dan cara-cara pengambilan keputusan.Klien yang memiliki inteligensi baik, akan lebih banyak berpartisipasi dalam proses konseling. Selain itu, akan lebih cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan klien yang berinteligensi rendah.
e. Status ekonomi
Klien yang berlatar belakang perekonomian yang baik akan lebih positif menilai diri di masa depan yang ingin dicapainya dibandingkan dengan klien dengan latar belakang sosial ekonomi yang rendah.
f. Sosial Budaya
Ketidakharmonisan antara nilai-nilai yang dianut klien yang berasal dari sosial budaya tertentu dengan nilai-nilai yang terdapat dalam konseling akan sangat memengaruhi cara pandang klien terhadap konseling. Bila hal ini tidak dapat diantisipasi oleh konselor memungkinkan klien mengambil tindakan resistensi terhadap konselor, sehingga menghambat proses konseling.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian klien, yaitu:
a. Motivasi klien
Klien yang dating pada konselor atas kemauannya sendiri akan lebih berpengaruh positif terhadap konseling dibandingkan dengan klien yang datang atas rujukan orang lain.
b. Harapan
Klien yang memiliki harapan bahwa konseling dapat membantunya menyelesaikan masalah akan lebih bersemangat menjalani konseling dibaningkan dengan klien yang tidak mearuh harapan apapun pada konseling.
c. Kekuatan ego dan kepribadian
Kekuatan ego memiliki peranan penting terhadap cara penanganan masalah dan kecemasan menghadapi resiko. Jadi, klien yang memiliki kekuatan ego dan kepribadian yang tangguh akan lebih berhasil daripada klien yang memiliki ego dan kepribadian lemah.
4. bold Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan klien, yaitu:
a. Keluarga

Klien yang hidup dengan keluarga yang utul akan memiliki sikap berbeda dibandingkan klien yang hidup dengan keluarga tidak utuh. Hal ini disebabkan oleh selain konselor, keluarga juga pihak yang dapat memotivasi klien untuk dapat sembuh dan keluar dari masalahnya. Dukungan inilah yang menanamkan keyakinan dan semangat klien selama menjalani konseling.
b. Kehidupan sosial
Klien yang hidup pada lingkungan sosial yang memberikan dorongan pada klien akan lebih erhasil dibandingkan klien yang hidup pada lingkungan yang tidak mendorong. Keluasan pergaulan klien juga turut memengaruhi.
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konselor dan proses konseling, yaitu:
a. Kemampuan konselor
Konselor yang memiliki keahlian dan dapat memenuhi karakteristik konseling yang efektif dan lebih baik dibandingkan konselor yang tidak handal.
b. Hubungan konselor dan klien
Para ahli memandang bahwa keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh hubungan yang baik antara konselor dan klien. Konselor yang baik dalam menjalin raport dengan klien akan mampu mengantarkan konseling pada kesuksesan.
c. Jenis konseling yang digunakan
Hal ini meliputi penerapan konseling apa yang digunakan oleh konselor, apakh individual atau kelompok, menggunakan pendakatan behavioral atau humanistik, frekuensi pertemuan, atau hal-hal lainnya sangat memengaruhi konseling secara keseluruhan. Jenis konseling harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan klien agar konseling berhasil.

B. MENGEMBANGKAN RAPPORT
Willis (2009) berpendapat bahwa rapport merupakan hubungan yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik.  Rapport diawali dari persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan persamaan. Pada rapport hal yang harus ditekankan adalah persamaan, bukan perbedaan. Persamaan akan membangun hubungan yang positif dan perbedaan hanya akan memunculkan sikap resisten dan perasaan egosenstris. Brammer, dkk. mendefinisikan rapport adalah suatu iklim psikologis yang positif, yang mengandung kehangatan dan penerimaan sehingga klien tidak merasa terancam berhubungan dengan konselor.
Willis (2009) mengemukakan pendapatnya tentang cara mengembangkan rapport, yaitu:
1. Konselor memiliki sikap empati pada klien harus bersikap terbuka, menerima klien tanpa syarat, dan menghormati klien.
2. Konselor harus dapat membaca perilaku nonverbal..
3. Adanya rasa kebersamaan, akrab, dan minat membantu tanpa pamrih.
Hubungan konseling dapat berjalan efektif apabila rapport telah terbangun. Klien pun akan bersikap terbuka pada konselor karena keakraban yang terjalin akan menghapus ketakutan dan keraguan klien untuk berbagi dengan konselor. Namun, yang harus diperhatikan jangan sampai keakraban konselor dan klien menjadi kelekatan emosional yang mengganggu proses konseling.

C. NEGOSIASI DENGAN KLIEN
Negosiasi berarti suatu upaya memengaruhi pihak lain agar bersedia menerima konsep, rencana, atau program yang diberikan (Willis, 2005). Dalam dunia konseling, negosiasi berlaku ketika untuk pertama kalinya klien datang kepada konselor. Konselor akan meminta klien agar bersedia menjalani proses konseling dari awal sampai akhir dan bersedia untuk mengikuti petunjuk atau metode yang akan diterapkan oleh konselor.
Untuk melakukan negosiasi, seorang konselor harus memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan oleh Willis (2009), yaitu:
1. Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai klien.
2. Ramah, sopan, cermat, dan empati.
3. Pemahaman yang memadai tentang klien yang dihadapi.
4. Tidak membosankan, tidak memaksa, dan tidak mengecewakan klien.
Negosiasi biasanya menyerupai perjanjian yang dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak. Untuk melakuan negosiasi, konselor harus dapat mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan harapan klien dan kemudian diselaraskan dengan tujuan uyang ingin dicapai dalam proses konseling. Setelah negosiasi berlangsung, konselor akan menentukan jadwal mulainya konseling.

D. PERMASALAHAN DALAM PROSES KONSELING
Setelah raport dan neosiasi terbentuk bukan berarti konseling akan berjalan baik-baik saja dalam pelaksanaannya. Proses konseling memakan waktu yang relative panjang dan permasalahan dapat timbul baik disebabkan oleh konselor ataupun klien. Apabila konseling tidak berjalan efektif maka konselor perlu mengoreksi kembali tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Willis (2009) memaparkan faktor-faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam konseling, yaitu:
1. Konselor terlalu dalam mengeksplorasi klien.
Konselor yang terlalu dalam mengungkap jati diri klien akan terkesan menekan klien, terutama apabila dilakukan secara terburu-buru. Ketika klien merasa tertekan maka kemungkinan beberapa informasi kunci tidak akan tergali.
2. Konselor terlalu hati-hati dalam mengeksplorasi klien
Hal ini justru akan membuat konselor gagal mengubah perilaku klien, karena inti masalah akan sulit untuk disinggung. Kehati-hatian konselor akan mengakibatkan konselor kurang menguasai teknik konseling, kurang memahami etika konseling, atau dapat pula disebabkan karena konselor memiliki kepribadian yang kurang stabil.
3. Aplikasi teknik yang tidak tepat.
Dalam hal ini ada kemungkinan konselor tidak terlalu mamahami teori konseling beserta tekniknya, tetapi bisa saja seorang konselor benar-benar memahami teorinya. Namun ketika praktik langsung ternyata terjadi beberapa kekeliruan.
4. Hubungan konseling yang tidak efektif
Hubungan konselor dan klien tidak terjalin dengan efektif dikarenakan raport yang tidak terbentuk atau telah terjadi transferensi (emosi positif yang dirasakan klien terhadap orang-orang terdekatnya) dan countertransferensi (pengalihan emosi negative pada diri klien karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan klien).
5. Masalah komunikasi
Masalah umum yang terjadi adalah ketidakmampuan konselor berkomunikasi dengan jelas dan tidak dapat menangkap apa yang dikatakan klien, konselor gagal mengenali generelisasi dan distorsi. Lesmana (2005) menjelaskan ada beberapa faktor yang menghambat komunikasi yaitu masalah motivasional dan halangan psikologis.
6. Fokus
Masalah fokus adalah:
a. Konselor gagal membuat fokus masalah atau mengembangkan isu sentral
b. Fokus tidak tampak atau terlalu banyak membuat fokus yang sempit dn kaku dengan topic tunggal.
c. Terdapat fokus yang sesuai untuk klien tetapi mengabaikan konteks lingkungan dan sosial budaya.
7. Kelemahan konselor
a. Konselor terlalu terpaku pada teori sendiri, sehingga gagal melihat teori lain yang mungkin lebih efektif.
b. konselor keliru menggunakan teknik konseling
c. penafsiran konselor tidak cermat, sehingga tidak menjangkau kebutuhan dan harapan klien.
d. Konselor tidak memiliki beragam alternatif sehingga tidak mampu merespon perilaku klien yang beragam.
Masalah apapun yang terjadi dalam proses konseling, sudah menjadi kewajiban bagi konselor untuk sesegera mungkin mengambil tindakan yang dapat meminimalisir permasalahan tersebut. Setiap klien yang membutuhkan tangan-tangan konselor untuk mengatasi masalahnya mmerlukan situasi konseling yang kondusif untuk membuatnya nyaman dalam berbagai masalah, untuk itu menciptakan konseling yang kondusif harus diperhatikan oleh calon konselor yang akan memasuki dunia konseling.


Referensi:
Lubis, N. 2013. Memahami Dasar-dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta : Kencana.

Selasa, 28 Mei 2013

Pendekatan Phenomenological Psikologi

Hasnawati Lahamuddin
1171040076

PENDEKATAN PHENOMENOLOGICAL
Sejauh ini, para pakar psikologi telah mempertimbangkan pendekatan psikologi klinis di mana perilaku manusia dipandang sebagai hal yang terutama dipengaruhi oleh naluri dan konflik intrapsikis serta lingkungan dan faktor kognitif. Psikolog klinis yang mengambil pendekatan penomenological cenderung berbagi asumsi sebagai berikut:
1.      Manusia aktif, orang yang secara individual bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan dan sepenuhnya mampu membuat pilihan tentang perilaku mereka. Dalam keadilan, harus menunjukkan bahwa psikolog psikodinamik dan kognitif-behavior juga melihat orang-orang dengan cara ini, tetapi pendekatan mereka cenderung mengambil pada proses yang mendasari disiplin diri, pengambilan keputusan, dan karakteristik unik manusia lain dari pada untuk fokus pada karakteristik sendiri.
2.      Sejalan dengan gagasan ini, pendekatan phenomenological mengasumsikan bahwa semua aktivitas manusia dipahami bila dilihat dalam konteks sosial, dan dari sudut pandang dari orang yang sedang di observasi.
Kelly's personal construct theory
Kelly (1955) mengembangkan teori yang didasarkan pada asumsi dasar bahwa perilaku manusia ditentukan oleh konstruksi pribadi, atau cara-cara mengantisipasi dunia. Kelly percaya bahwa individu bertindak sesuai dengan sifat unik mereka serta harapan tentang konsekuensi dari perilaku dan bahwa orang-orang membangun kehidupan terdiri dari realitas mereka dan membimbing perilaku mereka. Teori Kelly mengatakan bahwa gangguan perilaku adalah hasil saat seseorang berkembang tidak akurat, terlalu disederhanakan, atau salah konstruck tentang pengalaman sosial. Banyak hal bisa menjadi kesalahan prediksi seseorang ketika terjadi keslahan konstruk.
Roger Teori Aktualisasi Diri
Roger berasumsi bahwa individu Bisa bawaan motif terhadap pertumbuhan, Artikel Baru Hal Yang diameter sebut aktualisasi diri: "kecenderungan arah yang jelas dalam semua kehidupan organik dan manusia (dorongan untuk axpand, memperluas, mengembangkan, dewasa) kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kapasitas organisme "(Roger, 1961, p. 351). Roger melihat semua perilaku manusia sebagai refleksi dari upaya individu di aktualisasi Diri dalam dunia unik dirasakan.

Maslow dan psikologi humanistic
Abraham Maslow (1954, 1962, 1971) menerapkan pendekatan phenomenological dan member pengaruh yang besar pada Amerika Utara. In founding the movement known as psikologi humanistik, Maslow emphasized that which adalah positif dan kreatif tentang keadaan manusia. Seperti Rogers, Maslow melihat orang memiliki kemampuan serta membutuhkan untuk aktualisasi diri. Tapi, dia memberi saran bahwa kegagalan untuk mewujudkan satu potensi itu karena tidak dari keganjilan di antara pengalaman diri dan organism dari pengalaman, tapi berdasarkan tidak terpenuhinya apa yang dibutuhkan. Maslow percaya bahwa kebutuhan itu adalah sebuah hirarki yang berawal dari level terendah yaitu kebutuhan fisiologi seperti makan. Kemudian bergerak ke level yang lebih tinggi yaitu keinginan akan keamanan, kebutuhan akan dicintai, self-esteem, serta aktualisasi diri.
Fritz Perls Dan psikologi Gestalt
Masih seputar penomenologi melihat hal yang diberikan oleh Freidrich S. Perls, seorang psikiater Eropa yang pertama kali mengungkapkan ketidak puasan tentang teori tradisional dari Freudian. Perls merasa bahwa Freud terlalu menekankan instink seksual dan menolak apa yang dia sebut bunger: insting atau kecenderungan kearah self-preservation dan self-actualization. Seperti Freud, Perls melihat bahwa ego memfasilitasi manusia berkembang dan self-preservation sebagai media konflik di antara kebutuhan internal dan tekanan lingkungan. Bagaimanapun, dia menekan pada ego bukan pada struktur psikis, tapi sebagai proses untuk berhasil adalah pengulangan dari ketegangan di antara individu dan lingkungan.
Evaluasi Model fenomenologi
Pendekatan phenomenology memiliki kritik sebagai berikut:
1.      Penomenologi humanistik terlalu peduli dengan pengalaman sadar dan langsung tidak memberi perhatian yang cukup terhadap motivasi tak sadar, kontinjensi penguatan, pengaruh situasional, dan faktor biologi.
2.      Pendekatan ini tidak cukup sependapat dengan perkembangan sikap manusia. Mendalilkan kecenderungan bawaan terhadap aktualisasi bisa menghitung untuk perkembangan, tapi tidak menjelaskan prosesnya.
3.      Konsep fenomenologi tidak jelas dan sulit dipahami, apalagi menyelidiki. Ketika manusia digambarkan sebagai "curah hujan sesaat di pusaran pusaran sementara energi di SCA besar dan dimengerti energi yang kita sebut alam semesta" (Kempler, 1973, p. 225), menjadi sulit untuk menghasilkan hipotesis diuji tentang perilaku mereka.
4.      Penerapan klinis fenomenologi ini terbatas kepada segmen penduduk yang intelektual dan budaya latar belakang kompatibel dengan alam introspektif nya.
PENDEKATAN INTERPERSONAL
Pengabaian ini sebagian berasal dari fakta bahwa pendekatan utama untuk klinik psikologi, terutama perilaku Dan psikoanalisa, telah menyerap begitu banyak prinsip-prinsip dari teori interpersonal yang ada, satu pendekatan interpersonal yang jelas untuk asesmen psikologi, kelainan, dan tritmen.
Teori Interpersonal Harry Stack Sullivan
Sullivan (1892-1949) mengembangkan Teori kepribadian Dan pengobatan Yang Ulasan Sangat berbeda bahasa Dari Freud. Kepercayaan bahwa kepribadian ITU konsisten bahasa Dari "pola yang relatif abadi situasi interpersonal yang berulang yang mencirikan kehidupan manusia" (Sullivan, 1953, PP.110-111). Sullivan juga melihat psikologi sebagai gangguan berasal dari hubungan interpersonal yang telah menjadi begitu melelahkan, rumit, frustrasi yang konstruktif, atau "Normal" interaksi dengan orang lain tidak mungkin.
Seperti Freud, Sullivan melihat perkembangan kepribadian dalam serangkaian tahapan. Namun, di mana freud menekankan kualitas psikoseksual dari periode perkembangan, Sullivan konsentrasi pada masalah antarpribadi utama khas setiap tahap. Dalam masa kanak-kanak, era memanjang dari akhir masa bayi sampai sekitar usia empat tahun, pikiran dan bahasa berkembang lebih lanjut. Dalam era remaja, yang berlangsung dari sekitar empat sampai sepuluh tahun usia, orang belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan rekan-rekan. Era remaja, yang berlangsung dari sekitar usia sepuluh sampai pubertas, adalah penting karena tugas interpersonal yang utama belajar bagaimana menjadi psikologis intim dengan orang lain. Pada awal masa remaja, diantar oleh masa pubertas, orang menjadi lebih didorong oleh nafsu mendesak.
Timothy Leary Lingkaran Interpersonal
Sistem Laery ini mengatur gaya yang berbeda dari perilaku interpersonal sekitar lingkaran, disebut circumplex. Sistem Laery dan model lingkaran lainnya menunjukkan bahwa seseorang dapat "menarik" perilaku tertentu dari orang lain dengan mengerahkan gaya interpersonal yang khas. Secara umum, aturan saling melengkapi memprediksi pertandingan antar berikut: sepanjang sumbu dominasi-submisi, perilaku dominan membalas dengan tunduk dan sebaliknya; sepanjang dimensi cinta-benci, ada conepondence-dengan cinta cinta dan benci mengundang membangkitkan kebencian.
Penggunaan teori interpersonal pada psikologi klinis
Teori Interpersonal tampaknya terutama berguna untuk gangguan kepribadian axplaining, yang merupakan pola seumur hidup fleksibel dan perilaku maladaptif dan berpikir yang menyebabkan kesulitan besar dalam kehidupan seseorang adalah sosial atau pekerjaan dan dapat menyebabkan ketidak bahagiaan dan kesusahan. Teori interpersonal juga telah menyebabkan saran tentang bagaimana terapis shouldrespond untuk manuver kebiasaan klien mereka 'interpersonal.