MENCIPTKAN
KONSELING YANG KONDUSIF
A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PROSES KONSELING
Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan proses
konseling. Gladding menjelaskan bahwa ada lima faktor yang memengaruh
konseling, yaitu:
1. Struktur
Gladding mengartikan
struktur sebagai konsep mengenai karakteristik, kondisi, prosesdur, dan
parameter konseling yang disepakati oleh konselor dan kliennya. Dalam hal ini,
struktur bisa digunakan untuk memperjelas hubungan antara konselor dan klien,
melindungi hak masing-masing, menunjukkan arah, dan menjamin keberhasilan
konseling. Apabila dalam sebuah proses konseling tidak terdapat struktur yang
jelas, maka klien akan kesulitan untuk memahami konseling sepenuhnya. Lesmana
(2005) memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan pedoman praktis untuk
membangun struktur, yaitu:
a.
Time limits, misalkan dalam setiap pertemuan konselor dan klien memiliki
durasi waktu yang telah disepakati.
b. action limits, dilakukan agar
tidak terjadi tingkah laku yang destruktif.
c. role limits, yaitu pemaparan
tentang tujuan akhir yang diharapkan masing-masing pihak.
d. procedural limits, yaitu
kondisi dimana klien diberi tanggung jawab untuk menghadapi suatu sasaran atau
kebutuhan spesifik.
e. Fee schedules,
yaitu kesepakatan antara konselor dan klien megnenai kapan harus membayar dan
bagamana cara pembayarannya.
2. Inisiatif
Dalam konseling, inisiatif merupakan sikap yang dapat memotivasi
klien untuk mempercepat kesembuhannya. Dengan adanya inisiatif, konselor dapat
dimudahkan dalam menangani permasalahan klien, dimana inisiatif biasanya lahir
pada klien yang memiliki keyakinan kuat untuk lepas dari masalahnya. Sedangkan
klien yang masih enggan mengungkapkan permasalahannya, maka konselor yang harus
berinisiatif untuk mengambil tindakan nyata agar dapat menggali akar konflik
dari klien.
3. Tatanan (Setting) Fisik
Untuk menciptkan konseling yang kondusif, perlu adanya
ruangan konseling yang nyaman dan memebrikan ketenangan pada klien. Seorang
konselor, yang professional harus memiliki keterampilan untuk menyiapkan
ruangan yang dapat membuat klien merasa aman, tenang, relax, dan senang.
Penyiapan konteks ruangan, meliputi:
a. Pengaturan
dekorasi rauangan. Dekorasi ruangan hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang
familiar dengan klien, sehingga diharapkan dapat menyenangkan klien.
b. Pengaturan tempat duduk. Pengaturan tempat duduk
hendaknya memungkinkan klien dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu,
konselor dank lien lebih baik duduk di kursi yang berhadapan satu sama lain
tanpa adanya meja atau bangku yang menghalangi. Keterbatasan hubungan antara
konselor dengan klien telah diatur dalam kode etik klien.
c. Jarak tempat duduk klien. Jarak tempat duduk konselor
dank lien dapat memengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jarak tempat
duduk yang jauh cenderung menimbulkan suasana yang kurang akrab dan dapat
menimbulkan suasana yang kaku, terbatas, dan merisihkan serta akibat paling
fatalnya, klien menjadi semakin lebih tertutup.
d. Letak tempat duduk klien. Posisi tempat duduk sebaiknya memungkinkan klien untuk
melemparkan pandangan keluar jendela agar klien merasa bebas, enak dan tidak
tertekan.
e. Ruang konseling. Ruangan yang digunakan untuk proses
konseling seharusnya dibuat khusus agar klien merasa aman dan bebas mengemukakan
masalahnya tanpa khawatir didengar oleh orang lain. Besar ruangan untuk
melakukan kegiatan konseling minimal berukuran 3x4 m, mempunyai sirkulasi udara
yang baik, berjendela, cukup terang, dan bersih.
4. Kualitas Klien
Yang termasuk kualitas klien adalah karakteristik klien dan
kesiapannya menjalani proses konseling.
5. Kualitas Konselor
Konselor adalah pihak yang paling memahami arah konseling
dan mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan konseling.
Selain lima faktor di atas, Latipun (2001) membagi
faktor-faktor yang memengaruhi konseling menjadi lima, yaitu:
1. Faktor yang berhbungan dengan gangguan. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah:
a. Jenis gangguan atau masalah. Apabila jenis gangguan atau masalah klien
telah berulang kali ditangani konselor, konselor akan terbantu untuk menemukan
teknik konseling yang sesuai untuk klien. Akan tetapi, bila jenis gangguan
klien baru pertama kali untuk ditangani, maka konselor cenderung kesulitan
menghadapi klien, namun konselor tetap dituntut untuk professional.
b. Berat atau ringannya masalah/gangguan. Semakin berat
masalah yang dihadapi klien, maka konselor membutuhkan waktu konseling yang
lebih lama. Demikian juga dengan kompleksitas masalah klien yang turut memengaruhi
hasil konseling yang dilakukan.
c. Konseling sebelumnya. Klien yang sudah pernah menjalani
konseling sebelumnya pada konselor lain, akan memengaruhi keberhasilan
konseling yang dijalani pada konselor lainnya. Jika klien yang sudah pernah
menjalani konseling memiliki persepsi positif tentang konseling, maka
permasalahan yang dihadapinya akan semakin mudah ditangani. Namun sebaliknya,
bila klien memiliki persepsi negative tentang konselingnya yang dahulu klien
akan cenderung defensive pada konselor.
2. Faktor-faktor yang berhubungan keadaan klien, yaitu:
a. Usia klien.
Untuk membentuk kepribadian yang positif pada klien, maka
konselor harus melakukan modifikasi terlebih dahulu. Klien yang masih remaja
lebih mudah dimodifikasi perilakunya karena kepribadiannya yang masih
fleksibel. Berbeda halnya dengan klien yang telah dewasa, yang telah
memantapkan kepribadiannya, sehingga sulit untuk diubah.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian, wanita cenderung lebih mudah
dipengaruhi perilakunya, karena kerap kali melakukan modeling disbanding pria
dan dalam konseling, faktor modeling sangat penting dalam upaya pembentukan
tingkah laku baru.
c. tingkat pendidikan
Berdasarkan penelitian klien yang berpendidikan tinggi akan
lebih positif menyikapi interaksi dan proses yang terjadi dalam konseling
dibandingkan dengan klien yang berpendidikan rendah, karena kecenderungan
wawasannya yang lebih terbuka.
d. inteligensi
Dalam hal ini, inteligensi berpengaruh terhadap kemampuan klien
menyesuaikan diri dan cara-cara pengambilan keputusan.Klien yang memiliki
inteligensi baik, akan lebih banyak berpartisipasi dalam proses konseling.
Selain itu, akan lebih cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan dibandingkan
dengan klien yang berinteligensi rendah.
e. Status ekonomi
Klien yang berlatar belakang perekonomian yang baik akan
lebih positif menilai diri di masa depan yang ingin dicapainya dibandingkan
dengan klien dengan latar belakang sosial ekonomi yang rendah.
f. Sosial Budaya
Ketidakharmonisan antara nilai-nilai yang dianut klien yang
berasal dari sosial budaya tertentu dengan nilai-nilai yang terdapat dalam
konseling akan sangat memengaruhi cara pandang klien terhadap konseling. Bila
hal ini tidak dapat diantisipasi oleh konselor memungkinkan klien mengambil
tindakan resistensi terhadap konselor, sehingga menghambat proses konseling.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian klien,
yaitu:
a. Motivasi klien
Klien yang dating pada konselor atas kemauannya sendiri akan
lebih berpengaruh positif terhadap konseling dibandingkan dengan klien yang
datang atas rujukan orang lain.
b. Harapan
Klien yang memiliki harapan bahwa konseling dapat
membantunya menyelesaikan masalah akan lebih bersemangat menjalani konseling
dibaningkan dengan klien yang tidak mearuh harapan apapun pada konseling.
c. Kekuatan ego dan kepribadian
Kekuatan ego memiliki peranan penting terhadap cara
penanganan masalah dan kecemasan menghadapi resiko. Jadi, klien yang memiliki
kekuatan ego dan kepribadian yang tangguh akan lebih berhasil daripada klien
yang memiliki ego dan kepribadian lemah.
4. bold Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan
klien, yaitu:
a. Keluarga
Klien yang hidup dengan keluarga yang utul akan memiliki
sikap berbeda dibandingkan klien yang hidup dengan keluarga tidak utuh. Hal ini
disebabkan oleh selain konselor, keluarga juga pihak yang dapat memotivasi
klien untuk dapat sembuh dan keluar dari masalahnya. Dukungan inilah yang
menanamkan keyakinan dan semangat klien selama menjalani konseling.
b. Kehidupan sosial
Klien yang hidup pada lingkungan sosial yang memberikan
dorongan pada klien akan lebih erhasil dibandingkan klien yang hidup pada
lingkungan yang tidak mendorong. Keluasan pergaulan klien juga turut
memengaruhi.
5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konselor dan proses
konseling, yaitu:
a. Kemampuan konselor
Konselor yang memiliki keahlian dan dapat memenuhi
karakteristik konseling yang efektif dan lebih baik dibandingkan konselor yang
tidak handal.
b. Hubungan konselor dan klien
Para ahli memandang bahwa keberhasilan konseling sangat
ditentukan oleh hubungan yang baik antara konselor dan klien. Konselor yang
baik dalam menjalin raport dengan klien akan mampu mengantarkan konseling pada
kesuksesan.
c. Jenis konseling yang digunakan
Hal ini meliputi penerapan konseling apa yang digunakan oleh
konselor, apakh individual atau kelompok, menggunakan pendakatan behavioral
atau humanistik, frekuensi pertemuan, atau hal-hal lainnya sangat memengaruhi
konseling secara keseluruhan. Jenis konseling harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan
klien agar konseling berhasil.
B. MENGEMBANGKAN RAPPORT
Willis (2009) berpendapat bahwa rapport merupakan hubungan
yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik
menarik. Rapport diawali dari
persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan persamaan. Pada rapport hal yang harus
ditekankan adalah persamaan, bukan perbedaan. Persamaan akan membangun hubungan
yang positif dan perbedaan hanya akan memunculkan sikap resisten dan perasaan
egosenstris. Brammer, dkk. mendefinisikan rapport adalah suatu iklim psikologis
yang positif, yang mengandung kehangatan dan penerimaan sehingga klien tidak
merasa terancam berhubungan dengan konselor.
Willis (2009) mengemukakan pendapatnya tentang cara
mengembangkan rapport, yaitu:
1. Konselor memiliki sikap empati pada klien harus bersikap
terbuka, menerima klien tanpa syarat, dan menghormati klien.
2. Konselor harus dapat membaca perilaku nonverbal..
3. Adanya rasa kebersamaan, akrab, dan minat membantu tanpa
pamrih.
Hubungan konseling dapat berjalan efektif apabila rapport
telah terbangun. Klien pun akan bersikap terbuka pada konselor karena keakraban
yang terjalin akan menghapus ketakutan dan keraguan klien untuk berbagi dengan
konselor. Namun, yang harus diperhatikan jangan sampai keakraban konselor dan
klien menjadi kelekatan emosional yang mengganggu proses konseling.
C. NEGOSIASI DENGAN KLIEN
Negosiasi berarti suatu upaya memengaruhi pihak lain agar
bersedia menerima konsep, rencana, atau program yang diberikan (Willis, 2005).
Dalam dunia konseling, negosiasi berlaku ketika untuk pertama kalinya klien
datang kepada konselor. Konselor akan meminta klien agar bersedia menjalani
proses konseling dari awal sampai akhir dan bersedia untuk mengikuti petunjuk
atau metode yang akan diterapkan oleh konselor.
Untuk melakukan negosiasi, seorang konselor harus memenuhi
syarat-syarat yang dikemukakan oleh Willis (2009), yaitu:
1. Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai
klien.
2. Ramah, sopan, cermat, dan empati.
3. Pemahaman yang memadai tentang klien yang dihadapi.
4. Tidak membosankan, tidak memaksa, dan tidak mengecewakan
klien.
Negosiasi biasanya menyerupai perjanjian yang dapat
dilakukan secara tertulis maupun tidak. Untuk melakuan negosiasi, konselor
harus dapat mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan harapan klien dan kemudian
diselaraskan dengan tujuan uyang ingin dicapai dalam proses konseling. Setelah
negosiasi berlangsung, konselor akan menentukan jadwal mulainya konseling.
D. PERMASALAHAN DALAM PROSES KONSELING
Setelah raport dan neosiasi terbentuk bukan berarti
konseling akan berjalan baik-baik saja dalam pelaksanaannya. Proses konseling
memakan waktu yang relative panjang dan permasalahan dapat timbul baik
disebabkan oleh konselor ataupun klien. Apabila konseling tidak berjalan
efektif maka konselor perlu mengoreksi kembali tindakan-tindakan yang telah
dilakukannya. Willis (2009) memaparkan faktor-faktor penyebab timbulnya
permasalahan dalam konseling, yaitu:
1. Konselor terlalu dalam mengeksplorasi klien.
Konselor yang terlalu dalam mengungkap jati diri klien akan
terkesan menekan klien, terutama apabila dilakukan secara terburu-buru. Ketika
klien merasa tertekan maka kemungkinan beberapa informasi kunci tidak akan
tergali.
2. Konselor terlalu hati-hati dalam mengeksplorasi klien
Hal ini justru akan membuat konselor gagal mengubah perilaku
klien, karena inti masalah akan sulit untuk disinggung. Kehati-hatian konselor
akan mengakibatkan konselor kurang menguasai teknik konseling, kurang memahami
etika konseling, atau dapat pula disebabkan karena konselor memiliki
kepribadian yang kurang stabil.
3. Aplikasi teknik yang tidak tepat.
Dalam hal ini ada kemungkinan konselor tidak terlalu
mamahami teori konseling beserta tekniknya, tetapi bisa saja seorang konselor
benar-benar memahami teorinya. Namun ketika praktik langsung ternyata terjadi
beberapa kekeliruan.
4. Hubungan konseling yang tidak efektif
Hubungan konselor dan klien tidak terjalin dengan efektif
dikarenakan raport yang tidak terbentuk atau telah terjadi transferensi (emosi
positif yang dirasakan klien terhadap orang-orang terdekatnya) dan countertransferensi
(pengalihan emosi negative pada diri klien karena pengalaman yang tidak
menyenangkan dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan klien).
5. Masalah komunikasi
Masalah umum yang terjadi adalah ketidakmampuan konselor
berkomunikasi dengan jelas dan tidak dapat menangkap apa yang dikatakan klien,
konselor gagal mengenali generelisasi dan distorsi. Lesmana (2005) menjelaskan
ada beberapa faktor yang menghambat komunikasi yaitu masalah motivasional dan
halangan psikologis.
6. Fokus
Masalah fokus adalah:
a. Konselor gagal membuat fokus masalah atau mengembangkan
isu sentral
b. Fokus tidak tampak atau terlalu banyak membuat fokus yang
sempit dn kaku dengan topic tunggal.
c. Terdapat fokus yang sesuai untuk klien tetapi mengabaikan
konteks lingkungan dan sosial budaya.
7. Kelemahan konselor
a. Konselor terlalu terpaku pada teori sendiri, sehingga
gagal melihat teori lain yang mungkin lebih efektif.
b. konselor keliru menggunakan teknik konseling
c. penafsiran konselor tidak cermat, sehingga tidak
menjangkau kebutuhan dan harapan klien.
d. Konselor tidak memiliki beragam alternatif sehingga tidak
mampu merespon perilaku klien yang beragam.
Masalah apapun yang terjadi dalam proses konseling, sudah
menjadi kewajiban bagi konselor untuk sesegera mungkin mengambil tindakan yang
dapat meminimalisir permasalahan tersebut. Setiap klien yang membutuhkan
tangan-tangan konselor untuk mengatasi masalahnya mmerlukan situasi konseling
yang kondusif untuk membuatnya nyaman dalam berbagai masalah, untuk itu
menciptakan konseling yang kondusif harus diperhatikan oleh calon konselor yang
akan memasuki dunia konseling.
Referensi:
Lubis, N. 2013. Memahami Dasar-dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta : Kencana.